Gunungkidul
adalah sebuah daerah yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagian besar
wilayah Gunungkidul berupa perbukitan dan pegunungan kapur. Daerah ini kaya
akan potensi alam yang indah. Sebagian besar dari potensi alam di Gunungkidul
masih sangat alami, karena memang belum terlalu banyak orang yang mengetahui
potensi alam Gunungkidul ini sehingga otomatis belom banyak terjamah oleh
tangan-tangan manusia.
Tapi kini potensi alam di Gunungkidul sudah
mulai dipopulerkan menjadi tempat pariwisata. Di internet dan di tivi pun sudah
banyak yang mempopulerkan tempat-tempat pariwisata di Gunungkidul, kemudian
dari mulut ke mulut juga sudah banyak dibicarakan.
Setiap daerah di Indonesia pasti memiliki
makanan khas daerahnya. Di Gunungkidul ini selain memiliki tempat-tempat
pariwisata yang indah, juga memiliki makanan-makanan khas daerah yang unik.
Mungkin untuk di kota besar seperti Jakarta, makanan ini jarang ditemukan, atau
bahkan tidak bisa ditemukan sama sekali. Makanan khas dari Gunungkidul
misalnya, walang goreng, gatot, sego tiwul, sayur lombok, dan masih banyak
lagi.
Berikut info lebih lanjut mengenai makanan walang goreng, gatot, sego tiwul dan sayur lombok.
Walang berasal dari bahasa jawa, dalam bahasa Indonesia disebut dengan
belalang. Jadi walang goreng artinya adalah belalang goreng. Belalang merupakan
serangga herbivora dari sub-ordo Caelifera dalam ordo Orthoptera. Belalang
banyak ditemukan di pohon turi dan pohon jati.
Awalnya belalang adalah sebagai hama
tanaman bagi para petani. Namun di Gunungkidul, belalang diolah menjadi makanan
khas yang kaya gizi. Bahkan belalang kayu mempunyai kandungan protein yang
tinggi. Belalang goreng sudah menjadi makanan yang sering dicari oleh para
perantau yang berasal dari Gunungkidul saat mereka pulang ke kampung
halamannya.
Biasanya para perantau mencari belalang
goreng untuk dijadikan oleh-oleh dan untuk dikonsumsi sendiri. Belalang yang
telah dimasak bisa tahan sampai satu minggu. Belalang itu sendiri yang belum
dimasak tidak sulit untuk menemukannya. Di tempat-tempat tertentu banyak di
pinggir jalan dijual belalang yang dijepitkan pada sebilah bambu, tentunya
belalang ini masih mentah.
Untuk menemukan belalang yang sudah
digoreng atau sudah dimasak dapat mengunjungi pasar atau pusat penjualan
oleh-oleh di Gunungkidul.
Gatot Gunungkidul
Gatot, sebuah makanan ringan atau jajanan khas gunungkidul. Gatot biasa dikonsumsi untuk menemani acara minum teh atau kopi. Sering dihidangkan untuk menjamu tamu yang berkunjung. Dulu, gatot dibuat untuk konsumsi pribadi, namun sekarang sudah menjadi komoditi yang diperjual belikan. Gatot dapat dijumpai di pasar-pasar tradisional atau pusat oleh-oleh Gunungkidul.
Gatot adalah makanan yang terbuat dari gaplek (ketela/singkong yang dikeringkan) sama dengan tiwul. Ketela yang telah dikupas kemudian dijemur untuk dikeringkan sehingga menjadi gaplek. Namun untuk membuat gatot berkualitas, bukan sembarang gaplek yang dipakai. Para pedagang gatot yang biasanya merangkap sebagai pembuat (produsen) menggunakan gaplek yang (sengaja) dihujan-hujankan. Tujuannya untuk mendapatkan warna hitam khas gatot. “gatot ingkang sekeco ingkang wernan’e ireng” ujar mbah Mijem, salah satu penjual gatot di pasar Playen. Untuk mengantisipasi musim kemarau, maka biasanya pembuat gatot mempunyai stok bahan (gaplek yang kehujanan).
Cara pembuatan gatot sangat sederhana. Gatot yang sudah kering direndam selama 12 jam (semalam). Setelah dicuci bersih, gaplek dipotong kecil-kecil sesuai ukuran gatot, kemudian ditanak/dikukus selama sekitar 2 jam. Setelah masak, gatot ditempatkan di suatu wadah yang lebar biar cepat dingin. Untuk menghidangkan, gatot ditaburi dengan parutan kelapa ditambah sedikit gula dan garam. Perpaduan rasa kenyal gatot bercampur sedikit manis dan asin menambah eksotisme rasa makanan khas Gunungkidul ini.
Tiwul Gunungkidul
Gunungkidul saat itu, dengan kondisi alamnya yang tandus menjadi lahan yang tidak tepat untuk bertanam padi, namun membuat tanaman ketela pohon / ubi kayu tumbuh subur di sana. Oleh karena itu, bagi masyarakat Gunungkidul, ketela adalah makanan pokok pengganti nasi. Dengan kemampuan berinovasi, ketela diolah menjadi makanan yang memiliki rasa mirip dengan nasi. Hanya saja teksturnya lebih kecil dan berbentuk bulat-bulat kecil.
Bagi yang belum pernah mendengar, nama makanan ini terdengar lucu: Tiwul. Terbuat dari tepung gaplek, yaitu ketela yang dikeringkan. Tiwul adalah makanan khas dan sempat menjadi makanan pokok masyarakat Gunungkidul. Makanan yang dahulu sempat diidentikan dengan kemiskinan, sekarang mampu menembus batas gengsi. Tiwul bukan lagi sekedar makanan pengganti nasi, namun sudah menjadi kuliner yang banyak dicari.
Keistimewaan Tiwul ada pada rasanya yang manis dan gurih. Selain itu, di dalam tiwul juga dapat dirasakan aroma gula merah yang berpadu dengan kelapa parut. Bentuknya yang terdiri dari gumpalan butiran-butiran kecil dan sedikit kenyal membuat makanan khas ini nikmat disantap. Sangat pas dihidangkan saat masih hangat, dengan taburan serutan kelapa muda.
Cara mengolah ketela menjadi tiwul cukup sederhana. Pertama-tama, ketela pohon dikupas, kemudian dijemur sampai kering. Ketela kering ini disebut gaplek. Kemudian gaplek tersebut dihaluskan hingga menjadi tepung. Pada jaman dahulu, proses ini dilakukan dengan cara sederhana dan lama. Gaplek ditumbuk menggunakan lumpang batu hingga menjadi tepung. Namun saat ini sudah ada mesin penggilingan khusus, sehingga lebih cepat dan kehalusan tepung lebih seragam. Tepung singkong – atau disebut tepung tapioka – tersebut lalu diberi campuran air dan gula jawa, kemudian diaduk di atas tampah hingga membentuk butiran-butiran kecil, kurang lebih seperti butiran nasi.
Kemudian dilakukan proses yang disebut ditinting. Proses ini seperti mengayaki butiran beras. Butiran-butiran tiwul diletakkan di dalam tampah, kemudian diayak dan dilempar-lempar hingga butiran kasar dan halus menjadi terpisah. Dibutuhkan keahlian khusus untuk melakukan proses ini.
Setelah itu, butiran tiwul halus diletakkan dalam kukusan dari kulit bambu. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah, perlu dibuat lubang di tengah tiwul tersebut yang fungsinya sebagai jalan keluar uap air saat dikukus. Setelah siap, tiwul dikukus selama kurang lebih 30 menit. Untuk memperoleh rasa yang lebih gurih, tiwul dikukus dengan menggunakan kayu bakar.
Sego Abang Jirak adalah makanan Khas daerah yang memiliki gizi yang tinggi. Nilai gizi tersebut diperoleh dari kualitas beras, cara memasak dan penyajiannya. Beras merah tercatat memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibanding dengan beras putih yang dominan karbohidratnya, Selain itu, beras merah dihasilkan dari ladang sawah gogo yang tidak menggunakan produk pupuk kimia maupun pestisida. Oleh karena itu, bagi penggemar masakan organik, sego abang bisa menjadi pilihan utama, Mengkonsumsi sego abang tidak menggemukkan badan, karena tingginya kadar protein yang terkandung.
Sandingan menu yang wajib bagi sego abang adalah sayur lombok ijo. Sayur ini kaya dengan kuah santan dan diracik dari potongan cabai hijau yang dipadukan dengan tempe kedelai. Kuah santan dengan racikan bumbu berupa bawang merah,bawang putih, jahe, dan kemiri ini menghadirkan rasa gurih bercampur pedas. Selain sayur lombok ijo juga tersedia lauk lain untuk pendamping, seperti daging sapi goreng, iso babat goreng, ikan wader goreng dan urap trancam.
Sego abang dan sayur lombok ijo bisa dinikmati wisatawan di desa Jirak, Kecamatan Semanu, kabupaten Gunungkidul, D.I Yogyakarta. Satu porsi sego abang dijual seharga 2 ribu dan sayur lombok 3 ribu, sementara satu piring daging sapi dihargai 40 ribu, satu piring iso babat 20 ribu dan satu piring ikan wader 15 ribu, sedangkan untuk urap trancam dihargai 2.500.
Sumber : www.jogjatrip.com